January 08, 2012

Bocah itu

Malam itu didalam kamar, aku tak punya apapun untuk dikerjakan, hanya berkutat dengan dunia luar melalui kotak kaca bertempelkan nots huruf. Menulis cita-cita dan cinta, membaca karya sastra terbaik yang membuatku merinding.
Sesekali ku lihat handphone disebelah kotak kaca ini, tak ada satu kabar pun tentang bocah itu, gumam ku. Aku seperti bunga yang tak dihinggapi kumbang. Bunga segar yang warnanya kian memudar, layu dimakan waktu. Kumbangnya kemana?entahlah, sudah dua kali matahari tenggelam dia masih menghilang tak ada kabar.
Dalam kesunyian kamar ku, aku ucapkan salam rindu untuk bocah itu. Rindu yang tak biasa. Rindu yang sangat memacu jantung ini berdetak lebih cepat dari biasanya.
Salam rindu itu kini berbaur bersama angin yang diciptakan kipas angin kamar ku. Angin yang tak terlalu kencang namun sepoi. Samar-samar aku menggores wajahnya dalam lamunanku. Mengingat semua lekuk senyum sederhananya,senyum yang mengisyaratkan sebuah kata. Bola mata coklatnya selalu mengingatkan ku pada coklatnya tanah, takkan ku lupa rambut lebat yang biasa ia rapihkan secara acak. Kini semua menjadi satu kesatuan sebuah lukisan indah yang kubuat khusus untuk dirinya, lukisan yang akan kusimpan rapih dan tak kubiarkan bersebu selamanya. Lukisan itu kini kutaruh dalam memori ku,takkan kubiarkan seorang pun menghapusnya.

"Din..." suara bocah itu. tunggu, ini tidak nyata.
"Dini..." antara maya dan nyata,aku sadar bahwa itu memang nyata (tapi maya). Entahlah.
Ah, sudahlah aku yakin betul itu suaranya. kubuka pintu kayu rumah ku.
Senyumnya khas. Aku kaget. Itu dia, ya dihadapanku sekarang memang benar dia. Bocah itu.

Setelah sebuah salam kepada ibuku, kau sempat bertanya "Udah makan?" aku yakin ini bukan basa-basi biasa. "Yok kita makan diluar" aku tersenyum,membalas ajakannya.

Angin malam itu terasa menusuk tulang kaki ini. Aku hanya berbalut kaos dan celana pendek, tak terlupakan jaket yang tak begitu tebal.
Kami berjalan sangat cepat,apalagi bocah itu. Dia selalu berjalan cepat sekali seperti sedang mengejar untung. Seperti kereta api yang telah ditunggu setiap penumpangnya disetiap penjuru stasiun. Ya, kereta api. Bocah itu memang menyukai kereta api. Sangat.

Aku hanya menunduk, melihat setiap langkah kaki ku yang kecil namun cepat, mengimbangi langkah kaki sang bocah kereta. Hati ku kian bergejolak, terasa berdebar namun tak hambar. Hati ini membuat mataku seperti kaca yang mengembun karena memandangi hujan.

Setelah menimbang-nimbang antara sate padang dan pecel lele, kami (lebih tepatnya bocah itu) memutuskan untuk memilih pecel lele. Jalanan beraspal tajam itu yang kini diinjak oleh kuda besi harus kami sebrangi. Aku menggenggam erat tangannya, tangan seorang pesilat. Hingga malam melonggarkan erat dekapannya.

Satu paha ayam dan sepiring nasi uduk untuk berdua ternyata tak cukup untuk kami,ia memesan satu porsi lagi setelah aku kalah debat.
Bocah itu bercerita lebih dahulu,tentang bagaimana harinya. Aku suka mendengar ia mendeskripsikan satu bait demi bait, setiap kata menjadi sebuah kalimat, lalu kelompok kalimat menjadi cerita utuh. kau menceritakannya dengan bahasa tubuh mu, aku tersenyum. Senyum pilu, ah tidak aku menangis lagi.

Jalan menuju rumah ku berlalu begitu cepat, entah karena aku yang sangat menikmatinya atau mungkin jalan kami yang begitu cepat. Haha entahlah.


Setelah senda gurau yang tak terlalu lama, kau memutuskan untuk kembali kerumah mu. Sebelum salam undur untuk ibu ku, sebelum kau menggendong tas ransel mu, kuputuskan mencium pipi hangat mu. Semoga menjadi kenangan rindu kemudian. Terimakasih kumbang,kau telah menghentikan sayap tipis mu untuk hinggap sejenak mencuri madu dari bunga yang layu. Semoga malam tak mengganggu mu dengan kebekuan sifatnya, semoga bulan menaruh belas kasih dan memberi sedikit cahaya nya dan mengantar mu pulang.
Selamat malam bocah kereta, terimakasih atas rindu yang terbalaskan.
Ah bocah itu...


♥Dini

0 Comments: