January 21, 2014

         Kemarin, mendambakan Hujan adalah keharusan, akan selalu menyalahkan Matahari jika ia terlalu berapi. Enggan untuk pergi keluar. Mengutuk Neraka jika lantainya bolong, kemudian menangisi Langit mengapa Awan tebal tidak dengan rela menutupi Matahari. 
          
           Orang-orang di bis kota akan menyeka peluh mereka. Lelah setelah seharian menguras tenaga demi keluarga, kepenatan yang berbuah bahagia. Kemacetan tiada akhir akan menambah kesah orang-orang di bis kota. Belum lagi orang yang mencari nafkah dengan meminta, menambah lara orang-orang di bis kota. Semua orang di seluruh kota akan menghujat pemerintah yang 'katanya' akan menolong hamba kalangan bawah. Menagih janji orang nomor satu di kota tua ini; mengusir macet, menghapus kemarau, dan memperbaiki kehidupan.

           Matahari mungkin sedang bekerja keras demi melonggarkan apinya untuk manusia di bumi, tapi manusia tidak boleh tahu, itu perintah Tuhan. Sesekali di dalam kemacetan orang-orang akan mendongah, melihat seberapa besar mahluk ciptaan Tuhan yang bergelora hari itu, lalu mereka akan menunduk, menyesal mengapa mereka mendongah. 

             "Beberapa bulan kedepan, manusia-manusia ini akan berhenti menyalahkan, aku akan rehat sejenak"
                Matahari kemudian tak sabar menunggu datangnya bulan, hari, dan tanggal itu. Matahari akan terus menghitung mundur sampai ia menemukan titik senangnya. Matahari menghitung mundur dengan perlahan, cepat, bahkan terbata-bata. Waktu matahari di bumi akan habis. 

               "Halo, saya Hujan."

              Manusia berhamburan mencari tempat perlindungan. Basah. Tak ada yang suka basah. Semua yang basah akan membuat ketidaknyamanan, begitu katanya.
          
             Orang-orang di bis kota memakai mantel terbaik mereka, menutupi semua bagian tubuh sebisa mungkin, melawan ganasnya dingin udara. Orang-orang yang tangannya lihai mengadu bumbu akan berlomba menjajakan makanan hangat racikan mereka. Ada daging yang mereka bulatkan seperti bola-bola salju, ada minuman hangat yang mereka racik dari rempahnya negri sendiri. Orang-orang di bis kota ingin cepat pulang, ingin bersembunyi dibalik selimut hangat dan memeluki pasangan hidup. 
              
               Hujan terlalu bersemangat datang ke bumi, dia menguras semua persediaan airnya, dikurasnya air itu dari dalam tubuhnya, kemudian dikuras lagi, dikuras lagi, begitu seterusnya sampai ia merasa letih. Bumi di airi oleh semangatnya Hujan. Orang-orang di bis kota, sekali lagi menyumpahi pemerintah kota. Buruknya tata kota membuat semua air tersumbat dan menguap ke tempat orang-orang di bis kota tinggal. Banjir dimana-mana. Kota ini sudah tak seindah yang dibayangkan. Hancur. Warganya kalang kabut. Pemerintah memutar otak, menguras tenaga, berpikir sepenuh otak mereka mampu, agar kotanya tak hancur.

              Tetapi Hujan baik, dia akan membawa kembali kenangan yang tak mampu manusia-manusia di bumi hancurkan. Dia akan mengulas sisi sensitif pada lembaran setiap memori. Sedih, duka, kerinduan, kebahagiaan, dan juga impian. Semua dihadirkan kembali oleh Hujan dengan mudahnya. Ah, andai saja semudah itu juga kenangan tentang mu berlalu. 

              Sekarang, beberapa sedang mengagumi Hujan tetapi juga mendambakan Matahari. Bosan dengan Hujan tapi benci dengan api Mentari. Beberapa akan tertanam di dalam selimut berdoa agar hunian mereka aman. Beberapa akan bekerja keras mengusir lumpur yang dibawa genangan air setinggi betis, tetap waspada kalau-kalau rumah mereka hanyut. 

             Maafkan kami, Tuhan. Yang tidak pernah bisa berhenti mengutuk semua keputusan-Mu, maafkan kami yang seharusnya bersyukur atas kelebihan nikmat. Maafkan kami, Ya Rabbi.


Jan, 21-14
♥Dini.

0 Comments: